Lokasi Ligan |
Nun jauh di utara sana……………. Di kaki Bukit Barisan, di desa Ligan di pedalaman Kabupaten Aceh Jaya (dulu termasuk bagian dari Aceh Barat), tersebutlah sebuah areal permukiman diapit oleh Krueng Ligan dan Krueng Masen. Pada tahun 70-80-an (entah karena dipaksakan) ditempatkanlah transmigran dengan nama SP-3 (satuan permukiman), SP-4 dan SP-5, dengan populasi ketiga permukiman mendekati 200 kepala keluarga. Seiring dengan perjalanan waktu dan usaha kerja keras para transmigran serta didukung oleh alam yang subur dan air mengalir berlimpah dari kaki bukit, berkembanglah permukiman ini menjadi gemah-ripah, ekslusif dan lebih berkilau jauh meninggalkan desa-desa sekitar.
Gedung Sekolah Dasar |
Menjelang pagi, dibuka alunan azan mesjid, yang disusul klakson angkutan reguler dari permukiman ini sampai Kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 250 Km, pergi pagi pulang petang, berlanjut suasana sekolah dasar dengan gedung yang berdiri indah di tengah sawah, dipenuhi oleh gelak-tawa anak-anak yang berwajah ceria, kegiatan belajar yang seperti negeri impian, sejuk diiringi oleh kicauan burung bernyanyi. Sementara si ayah lengkap dengan cangkul dan camping, kadang disertai joran kail, berlenggang menuju sawah sambil bersiul.
Perayaan 17 Agustus |
Saat matahari tegak lurus bumi, si anak sekolah berlari pulang, sedangkan si ibu melenggok dengan tentengan di tangan kanan menyusul sang ayah ke sawah. Menjelang sore hari lapangan volli dipenuhi sorak-sorai, pukulan bola dan lompatan, dijejeri oleh pedagang keliling yang telah capek keluar-masuk gang, ah…..kemeriahan layaknya perayaan tujuh belasan. Kemudian menjelang malam, terdengarlah nyanyian jangkrik yang menceritakan sang rembulan.
Lahan sawah yang subur |
Bahkan pada rumah-rumah tertentu ada sudah berdiri kokoh antena parabola mendongak ke langit dan sepeda motor tahun terbaru yang terparkir mulus di halaman, sementara pada bagian belakang terdapat tambak ikan pribadi yang digabung dengan sarana mck, bagian samping yang tertata ditanami tumbuhan sayur seperti singkong, pohon katuk, kunyit, lengkuas, jahe dan lain-lain serta dikelilingi pagar kayu dengan berbagai warna. Di luar sejauh mata memandang, nampaklah hamparan sawah yang menghijau, berubah menjadi warna kuning keemasan saat panen menjelang. Rombongan sapi yang nyaman merumput terlihat mengganguk-angguk jauh di kaki bukit, sementara anak kambing yang ribut mencari si induknya dan kotek ayam betina yang memberitahukan telor sudah siap untuk digoreng.
Krueng Ligan NAD |
Memang pada saat musim tertentu, ada kalanya rombongan gajah turun meluluh-lantakkan kebun tanaman, cukup sering pula pagi hari ditemukan jejak kaki harimau dan seekor kambing telah hilang. Terkadang pula Krueng Ligan dan Krueng Masen pernah sama-sama mengamuk menenggelamkan tanaman padi terendam dan menghalau ikan dari tambak-tambak. Namun selain itu hanya rasa optimis dan syukur yang ada atas berkah yang turun dari langit dan wajah-wajah mencerminkan kepastian dari sebuah harapan untuk menuju masa depan yang lebih baik, gemilang, makmur seperti yang tertulis di buku-buku pendidikan moral Pancasila (PMP).
Pemukiman Menghutan Kembali |
Namun harapan dan kenyataan sering tidak seiring, yang diawali dengan perubahan politik, akhirnya menjadi konfilk yang berkepanjangan. Satuan permukiman inipun secara tragis menjadi bubar dan lenyap, ada transmigran yang pulang kembali ke desa awal, ada yang terlunta-lunta, ada yang merantau ke daerah lain dan ada pula yang berasisimilasi dengan masayarakat sekitar. Tahun 2007 ini permukiman itu menjadi kembali menjadi belantara jaman purba, dengan semak-belukar yang menjulang di atas kepala, lahan kembali menjadi rawa karena sungai/drainase yang mendangkal, menyempit dan tidak terawat. Tak ada lagi rumah, jalan, mesjid, sekolah, lapangan voli, sapi dan manusia di sana, yang sering dijumpai malah jejak gajah, harimau, rusa, babi hutan dan ular sendok.
Sebuah potret Indonesiaku yang cemburu …….
Jejak Gajah |
Kecemburuan terhadap komunitas yang maju dari hasil kerja keras memang terjadi dimana-mana di bumi Nusantara ini, dicemburui oleh masyarakat sekeliling kawasan sekitar yang miskin dan vakum. Kecemburuan di desa ini mungkin termasuk paling ekstrim di negeri ini, namun dengan skala yang bervariasi, kecemburuan seperti ini terasa pula di Sitiung (Sumatera), Sanggau-Batulicin (Kalimantan), Wae Apu (Buru), Kaeratu-Kobisonta (Seram) dan di tempat lain yang sejenis. Seperti api dalam sekam, sangat rawan untuk ditiup, apalagi kalau dikaitkan pada perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (sara), maka potensi konflik akan meledak-menggelegar dengan seketika.
Saluran air di Pekalongan |
Kita memang punya komunitas masyarakat pengelola tanah pertanian yang handal, ulet dan mau bekerja keras yang tentunya dengan rahmat Tuhan akan dapat berhasil dan menikmati hidup dengan berkecukupan. Masyarakat yang mempunyai kebudayaan pertanian yang panjang berpuluh abad, dengan menghargai kekayaan alam yang dipersembahkan oleh lahan dan air dan patuh terhadap undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Namun apa boleh buat, lahan pertanian di wilayahnya makin hari makin surut, tertelan oleh pesatnya perkembangan kota, jalan tol, real estate dan industri.
Bangunan Bagi di Kalimantan Selatan |
Sementara di wilayah lain dibangun sarana irigasi, namun sering sia-sia bahkan kadang-kadang bangunan-bangunan tersebut terlihat sedih menunggu sawah dikelola serta menanti tanaman padi bertumbuh. Daerah irigasi tidak berfungsi optimal (seperti yang diharapkan pada tahap studi kelayakan), di mana realisasi lahan sawah fungsional jauh di bawah rencana lahan potensial dan saluran-saluran irigasi yang kosong melompong tak berair, bahkan pintu-pintu air sering berpindah ke juragan besi tua.
Pada saluran irigasi yang lain terjadi pengambilan air liar yang semaunya oleh masyarakat yang tidak mematuhi undang-undang yang memang tidak pernah ditegaskan sangsi/hukumannya. Dengan budaya masyarakat yang umumnya hanya mau menanam padi sekali setahun, malas, ogah-ogahan untuk hidup pas-pasanpun terasa susah, menyepelekan ketersedian lahan yang luas dan air yang melimpah. Ketika para pengelola sawah handal dan terampil didatangkan dan mereka menjadi makmur, terjadilah kecemburuan dari masyarakat sekitar, berputar seperti lingkaran setan.
Pada saluran irigasi yang lain terjadi pengambilan air liar yang semaunya oleh masyarakat yang tidak mematuhi undang-undang yang memang tidak pernah ditegaskan sangsi/hukumannya. Dengan budaya masyarakat yang umumnya hanya mau menanam padi sekali setahun, malas, ogah-ogahan untuk hidup pas-pasanpun terasa susah, menyepelekan ketersedian lahan yang luas dan air yang melimpah. Ketika para pengelola sawah handal dan terampil didatangkan dan mereka menjadi makmur, terjadilah kecemburuan dari masyarakat sekitar, berputar seperti lingkaran setan.
Entah menuju kemana pertanian kita, masihkah esok pagi ada beras untuk kita……
Atau kita hanya menunggunya dari negeri gajah………….
Catatan dari Perca Island
Alesmoan (2007)